Grace Oey

Aku adalah Penyuka Fenomena Senja... Hangatnya, Biasnya, Cahayanya, dan tentu saja Cintanya... Aku Sendiri adalah Semburat Fajar..

Friday, July 29, 2011

Benar-benarkah mereka manusia?

Terkadang ketika sepertinya tak ada lagi jalan untuk kemanusiawian, maka sekalian saja berhenti menginjak bumi..

Munafik! Benarkah itu?

Terlalu sulit dijangkau oleh pendosa, dan membuat muak orang-orang yang ada di dalamnya tapi sama sekali tak menjadi bagian darinya, bahkan momok bagi kaum medioker.

Tak ada yang memaksa untuk hidup seperti itu, bahkan Ia pun tidak...

Jadi mengapa dengan sok tahu dan merasa paling benar seolah-olah berjuang untuk kesempurnaan, padahal semakin menjauh dari apa yang dituju? Sungguh, hidup untuk dihidupi dan bukan untuk dipandangi seperti lukisan tak bercacat. Gagal dan bangkit, membuat pelajaran terasa berharga, dan keberhasilan bukanlah kekosongan tak bermakna.

Hati...

Untuk apa organ itu ada jika bukan untuk dimampiri rasa sakit dan kecewa, hanya sekedar mengajarkan bahwa kasih lebih agung dan sanggup menjadi penyembuh.

Sudut bibir yang tertarik...

Untuk apa jika bukan sesekali menciptakan cibiran dan sinisme, hanya sekedar untuk mengajarkan bahwa itu adalah proses dimana menghargai orang lain adalah penting, karena ternyata sinisme dan cibiran terasa menusuk jika ditujukan pada "aku".

Pemimpin...

Benarkah mereka manusia?




-grace

Sunyi

sapaan, sahutan, tawa, obrolan, jeritan...
segala itu meneriakkan gaung kesunyian
terasa sesak ketika harus memandang menembus solidnya pribadi
Barisan cahaya itu kini terlihat meredup
Mencoba berkata pada diri sendiri, "hey, bisakah aku menikmati waktu hanya berdua saja dengan dirimu, wahai aku? Telah lama sekali rasanya aku tak melihat sinar ketika bercermin. Dan aku bermaksud untuk mengembalikan kilau pudarmu yang kusam itu."
Hanya sayangnya itu menjadi kriminal tersadis abad ini bagi kebanyakan
apakah karena aku bukan kebanyakan?
Mungkin...
Berbahagialah para kucing pinggiran yang berkeliaran sendiri tanpa dipertanyakan.
Apakah sudah sebegitu bukan miliknyakah segala yang terkandung dalam nama ini?
Sehingga untuk berjalan pun memancing pertanyaan?
Maka sedikit dari hati yang masih berwarna merah darah ini menyisakan suatu kebaikan...
untuk para kecintaanku :

Pada mereka yang berjaga
Ada lentera putih berisi cahaya peri bersayap bening
Pada mereka yang lelap
Ada ruang berisi mimpi-mimpi hadiah para malaikat untuk setiap helaan cinta
Pada mereka yang jauh
Ada harapan untuk bisa berlari mendekati masa dimana yang dekat nyata
Pada persahabatan ini
Ada asa yang tersimpan untuk keabadian
Biarpun sang dara terbang melawan arah....



-grace

hati atau tahi?

Apa yang harus disehatikan jika hati tak ada?
Seperti ingin berteriak sekencang-kencangnya
Seperti ingin meraung sekeras-kerasnya...
Sungguh pahit sekali, melihat bentuk hati yang sebenarnya bukan hati...
Jika memang tak ada, kenapa harus mengaku ada?
Tak tahukah bahwa itu menyakitkan?
Kenapa bilang ada?

KENAPA BILANG ADA?!!!!!
PEMBOHONG!!!

Bukankah segala sesuatu berubah kecuali perubahan?
Tapi terkadang itu meremas-remas hati...
Mengiritasi mata...
Mengaduk-aduk perasaan seperti kuret yang tajam..
Dia, dia, dia, dan mereka...
Perlahan-lahan mulai terlepas dari mata rantai yang semula stimulan penyemangat jiwa..
Ayolah, teman, kembali...

Tidakkah terlihat bahwa tak bisa berjalan, karena kalian kaki kananku..
Tidakkah terlihat bahwa tak bisa bicara, karena kalian mulutku..
tak bisa mendengar karena kalian telingaku,
mataku...
bahkan seperdelapan hatiku...

Tapi entah mengapa bagi mereka semua itu seolah-olah onggokan tahi...
tak ada dari mereka yang paham, bahwa itu hatiku..
Dipalingkannya wajah dengan dengusan kasar
Atau dipamerkannya senyuman palsu yang busuk..
Sungguh, bilang saja jika memang tak ada!
Bermanis-manis tapi asam seperti wuluh

Jadi, bahkan pada saat aku hendak berjalan dengan arah yang berbeda
hati itu yang punyaku, masih tetap tertinggal...
untuk dia, dia, dia, dan mereka...

Entahkah mereka menyadarinya atau tidak..
Kepedulian untuk itu telah bugil oleh siraman keacuhan yang pedih.



-grace

fenomena senja

Jadi dia adalah sebuah fenomena di senja hari
Segalanya yang tersirat :
Matahari jingga
ribuan kerikil yang terhampar
siluet rel kereta dengan garis perspektif yang menyempit
desau angin
belai ilalang pada hati yang nelangsa
serta aroma hangat sore yang manis
dan membuat perasaan damai membuncah melampaui galau diri...

Betapa kosong ketika harus melangkah membelakangi itu...
memutuskan untuk kembali menoleh...

wai!
ia telah berubah...

aku menoleh ke arahnya...
ia menoleh ke arahnya yang bukan aku yang entah siapa
tampak amat lekat dan intens...

ingin berbalik, tapi aku dipaku...
oleh perubahan itu.



-grace

pic by mr.google

anginnn....

aku adalah segenggam angin yang senantiasa berbisik
hal yang paling kusukai adalah...
menghembuskan ragaku untuk menciptakan udara segar bagi jiwa-jiwa yang gersang
meniupkan hasrat kedamaian dan kebahagiaan bagi para penyepi-penyepi yang mengembara di alam kesendirian yang sunyi...
menemukan hati yang perih, untuk kubebat dengan pelukku yang tak kasat...
menebar serbuk harapan bagi yang penat..

pada hati yang terluka, aku berbisik, "aku mencintaimu, wahai hati yang perih.. Mari kuselubungkan dirimu dengan kesejukkanku, dan bawalah pemahamanmu kepada sebuah tingkatan tersulit bagi seonggok hati, bahwa kau pun harus memeluk hati lain yang menorehkan luka ini, karena di sana ada pula luka lain yang tertoreh..."




-grace

Rumah

Pic by Mr. google
Mengitari kenangan setelah hampir selusin purnama
ia menyeruak menembus memori jangka panjangku
katanya, "tentu saja kita bisa."
maka aku pun percaya aku bisa
Ia bagai rumah tempat aku kembali
dengan ruangan hangat yang wangi
aku suka meringkuk di sudut ruang itu dan menangis
lalu ia akan menghampiriku
katanya, "tentu saja kau bisa."
maka aku pun percaya aku bisa

Aku tak suka mengatakannya
Tapi ada penghuni lain di rumah itu kini
berputar-putar mengelilingi ruang hangat itu
menabur bunga di sudutku
tak tersisa tempat bagiku di sana

Lalu aku bergegas pergi
Tentu saja ia melihatku, tapi dibiarkannya saja
Tak ada lagi rumah untuk kudatangi
Ah, seseorang mungkin sedang membangun satu untukku
Mungkin, di seberang sana
Maka sebaiknya kudatangi saja...
Lalu aku pun melangkah.

Sesekali aku berbalik dan memantau dari jauh
Rumah itu, yang dulu kudatangi setiap hari
Makin semerbak..
Aku tak berjejak lagi di sana.



-grace

the past...

rasaku hambar..
apa yang kuharapkan dibalik senyum itu?
persetan!!!
tampar aku! usir dari akses pandangmu!
bahkan bunuh aku jika itu membuatmu puas, pecundang!
tapi jangan usik hatiku...

bisakah itu kulontarkan? pantaskah itu kukatakan?
mungkinkah baja berteriak pada sang penempa untuk berhenti menghujamkan pukulan?
atau marmer memohon si pematung untuk berhenti mengukir?
lalu apa yang kuharapkan?
membatu? membeku?
tapi bagaimana jika erosi tak kan dapat mengikisnya?
bagaimana jika matahari berhenti bersinar?
dan aku mati, melebur di antara bebatuan..?
sirna, dan tak terhirup?
lalu apa?
masakan kurutuki? masakan kusesali?
tapi apa?
ah... betapa egoku tak mau berkompromi, hatiku tak sudi mencair, dan lukanya tak bisa saling menjalin..
bisakah Tuhan, cukai luka ini, kataku...
agar aku menjerit, meronta, dan merasa...
karena mati rasa aku kini...

kurasa demikian sebelum hari-hari ini..
tapi lalu kuputuskan, Pedang itu cukup tajam..
untuk mengoyak keakuan, menyayat dan membakar hati yang bengkok..
lalu kuminta Ia menggantinya dengan yang baru...



-grace

Fallen Angel

Kala

Aku tak butuh mendengar kata-kata

Karena

Mereka berevaporasi dengan cepat dan lalu..
Mungkin beberapa mengendap dalam-dalam dan mengkristal di dataran sempit nuraniku yang tersisa
Ya, hanya beberapa...
Beberapa yang merefleksikan sinisme yang menyaru sebagai sesuatu yang katanya perlu.

Aku sudah paham!
Jerit sendi-sendi jiwaku yang terlalu lemas..
Jangan lagi lucuti karena aku telah bugil..

Aku terantuk,
seketika segala distorsi warna itu merapat dan mengelabu
Sungguh buruk.
Aku berkeras ia berwarna, bahkan mereka kuyakinkan benar-benar..

Gemetar..
Aku kini bersembunyi di balik tipisnya bias-bias simpatik
Aku begitu takut pada apa yang tak tersentuh itu
Mereka yang tadinya sayap-sayap keperkasaanku
Aku kini terjerembap dan tak mampu lagi mendongak
Lidahku mencecap debu dan abu menerobos merasuki saluran pernafasanku
membuat sesak!

Kala

Ada yang datang merabuki aku dengan semacam zat
Membuat segenap sel-sel matiku merestorasi dirinya dengan ajaib
dan aku mampu bertumpu..

sedikit.



 -grace

Bahkan Tuhan pun bermajas..

Betapa kompleksnya hidupmu dapat terrangkum hanya dalam majas...
Setiap hari kau beralegori dan bermetafora dan beralusio..
hah! mengertikah?
Apa itu pararima?
Apa itu totum pro parte?
Apa itu oksimoron?
Ironikah jika bahasa-bahasa kompleks itu, yang terdengar aneh itu, yang kau bahkan tak tahu apa artinya, setiap hari menempeli lidahmu, sorot matamu, gerak tubuhmu..
Innuendo bukan, karena tentu saja manusia memang selalu melakukan sesuatu tanpa perlu paham. Suatu kewajaran yang tak penting.
Sarkasmekah jika kita katakan itu sifat dasar? Sok tahu! Sombong! Egois! Ah... ekskalamasio..
Mengasosiasikan diri layaknya dewa.. hahaha, simile, eh?
Tapi itulah kita bukan?

Dia berbeda..
Dia yang adalah identitas dari cinta..
Dia yang adalah asal kata dari Agung, Maha, Yang Terutama dari yang hanya utama..
Ia mempersonifikasikan subjek diriNya dalam berbagai hal, agar manusia bisa memahami..
Ia ber-litotes kala datang sebagai Yesus, padahal sebenarnya itulah anugerah terbesar bagi manusia
Bersinestesia, ya... bersinestesia, yang subjeknya hanya satu rasa..
Rasa Cinta.
Demi kita.. objek-objek majas...
ironi-ironi majas..
Ia paham apa yang Ia lakukan..
Ia mencintai kita, dan itu bukan hiperbola.


-grace

Gadis Berpayung Bening

Ia seolah muncul begitu saja dan lenyap begitu saja
Tak ada yang tahu ia siapa
Tak ada yang tahu dimana ia berada
Tak ada yang ingat bagaimana rupanya
Tak ada yang ingat pernah bertemu dengannya
Ia, si gadis berpayung bening

Yang mengenalnya hanyalah sang payung sahabatnya
Angin teman seperjalanannya
Debu yang ia pijak
Pepohonan yang ia lewati dan jejak kakinya sendiri

Tapi ia mengenal orang-orang..

Suatu ketika di tengah perjalanannya, ia bertemu seorang anak kecil
Yang menangis..
Ia lalu menghampiri anak itu dan bertanya, "Mengapa kau menangis, malaikat kecil yang manis?"
"Aku cemburu pada kutilang. Ia begitu ringan hingga angin mampu membuatnya terbang. Aku begitu berat hingga melayang dua detikpun aku tak bisa," jawab si anak.
"Jangan menangis. Mari kutunjukkan padamu."
Lalu sang gadis membawa anak itu pada sebuah pohon.
Suara rintih pilu terdengar dari salah satu ranting di ujung kanan.
"Suara kutilang....," desah anak kecil. "Kenapa dia?"
"Sebaiknya kau bertanya."
"Mengapa kau merintih, kutilang kecil?"
Sang kutilang meninggalkan ranting di ujung kanan dan hinggap di bahu anak kecil.
"Karena aku iri padamu. Aku begitu ringan hingga tak bisa bersahabat dengan bumi. Aku iri padamu. Kau akan berlari-lari jika gembira. Kau akan melompat jika bersemangat. Dan kau akan berbaring jika lelah. Sedangkan aku hanya bisa terbang dan hinggap. Terbang dan hinggap."
"Kau lihat?" ujar gadis berpayung bening. "Syukurilah apa yang kau punya dan sebaiknya kau tetap memijak bumi. Karena jika kau mencoba terbang, tak akan mudah bagimu saat tahu itu tak mungkin. Kau belum mencobanya kan?"
"Belum," sahut anak kecil. "Aku hanya mencoba melayang."
"Sebaiknya jangan pernah. Pulanglah."
Si anak pergi tanpa menoleh

Sang gadis berkata pada Kutilang,
"Kau tahu, aku pernah mencoba menyapa orang-orang yang dahulu pernah kutemui. Tapi mereka tak ingat padaku. Sekali. Belasan. Puluhan kali. Tak mudah bagiku saat tahu itu tak mungkin."
Dan ia pun pergi tanpa menoleh



-grace

Sketsa Fiktif Kehidupan yang Terkuak dari Salah Satu Kamar Imajinasi di Otakku, Pada Suatu Malam...

Terlintas sekelebat kenangan di otakku.
Kenangan itu bukannya bukan milikku. Tentu saja milikku. Ia kan berada di otakku. Hanya saja aku tak pernah mengalaminya. Aku menciptakannya. Dan sepertinya tak tepat disebut kenangan. Tetapi aku bisa menggambarkan dengan jelas apa yang kulihat di sana. Perapian hangat dengan lidah api menari-nari, tempat tidur dengan selimut kotak-kotak tebal membungkus tubuh seorang gadis kecil yang berbaring di atasnya. Aku tak bisa bilang gadis itu aku, tapi bisa saja ia memang aku. Dan pria yang duduk di tepi tempat tidur itu, ah.. kuharap ia ayahku, karena sebenarnya ayahku tak pernah duduk di tepi tempat tidurku seperti itu. Ia memandang gadis kecil itu dengan tatapan hangat. Dan gadis kecil itu tersenyum padanya.

"Ayah, mengapa tidak mulai mendongeng untukku? Aku suka sekali kisah yang kau ceritakan padaku tiga malam yang lalu. Tentang Kelinci Hitam yang Nakal. Maukah kau mendongengkannya lagi untukku malam ini, Ayah?" pinta gadis kecil.

"Aku tidak akan mendongeng untukmu malam ini Nak," jawab sang Ayah sambil tersenyum, menghasilkan guratan-guratan kerut di wajahnya, pertanda menuanya segala keperkasaan masa muda. "Aku akan menceritakan padamu suatu kisah, petuah yang akan kau bawa sebagai bekal saat kau memulai perjalanan menuju kedewasaan. Jadi dengarkan baik-baik, aku akan berkisah mengenai rahasia waktu."

Gadis kecil mengangguk bersemangat. Ia suka mendengar kisah-kisah yang diceritakan Ayahnya.

"Waktu..," sang ayah memulai, "adalah bagian eksternal kehidupan manusia. Ia semaya dongeng-dongeng klasik, beterbangan seperti udara tak terlihat, tapi senyata lorong-lorong yang setiap hari kita lalui. Dan ia memiliki rahasia."

Gadis kecil mengangguk lagi. Tak sabar mendengar kelanjutan cerita itu.

"Perhatikan baik-baik nak, waktu, adalah penyamar ulung. Ia bisa datang sebagai apa saja di hadapanmu.Terkadang ia datang sebagai KESEMPATAN. Manusia menyukai penyamaran ini, karena memberi mereka ruang untuk meraih apapun yang mereka inginkan. Tetapi, adakalanya ia datang sebagai PENCURI, dan manusia berbalik membencinya. Karena ia merenggut begitu banyak bagian dari hidup manusia. Orang-orang terdekatmu, dirimu sendiri, bahkan bagian dirinya yang satu lagi, KESEMPATAN itu."

Gadis kecil sangat bingung. Adakah sesuatu atau lebih tepatnya bisakah sesuatu seperti itu? Merenggut dirinya sendiri dari manusia, padahal semula ia menyodorkan dirinya sendiri. Seperti sebuah ketidakkonsistenan yang parah.

"Tidak, tidak seperti itu Nak," sahut sang ayah. Rupanya gadis kecil tak sengaja menyuarakan pikirannya agak terlalu keras. "Sesungguhnya waktu selalu tepat dan konsisten, bahkan dengan segala penyamarannya itu. Ia bergerak konstan. Tak pernah menjadi cepat, dan tidak pula melambat. Hanya sugesti manusia yang membuatnya seolah terlihat cepat dan terkadang lambat, lalu dikambinghitamkan sebagai penyebab kegagalan.
Dan ia begitu sensitif. Jika kau menggunakannya dengan bijak, maka ia berkawan denganmu. Memberimu bagian dirinya yang bernama KESEMPATAN itu dengan sangat murah hati. Tapi jika kau mengabaikannya, maka ia juga tak mengenalmu. Dengan kejam ia akan berlalu, pergi, dan hilang begitu saja dengan membawa serta kesempatan. Hal yang kau sebut ketidakkonsistenan yang parah, padahal itu karena ulah manusia sendiri."

"Aku tak mengerti apakah sungguh ada sesuatu seperti itu di dunia ini. Ia terdengar begitu kompleks. Membingungkan."

"Aku bercerita padamu tidak dimaksudkan untuk dimengerti saat ini. Kau bahkan belum dewasa. Hanya saja, kau harus mengingat apa yang kukatakan ini. Seluruhnya. Karena siapa tahu aku dicuri darimu lebih dulu, dan kita bahkan belum tiba di bagian terburuknya."

"Apakah itu, ayah? Bagian terburuknya, maksudku."

"Bagian terburuknya, anakku, adalah jika kau menunda-nunda waktu. Kau, dan seluruh aspek kehidupanmu akan terperangkap di dalamnya. Secara harfiah."

"Seperti penjara?"

"Ya. Seperti penjara. Ia akan membelenggumu dan kau tak akan bisa membebaskan diri jika itu terjadi. satu-satunya cara, kau harus menemukan Sang Pencipta Waktu. Hanya dia yang bisa melepaskanmu dari belenggu itu. Tak ada yang pernah benar-benar bertemu dengannya, kau tahu. Tapi konon dia benar-benar ada."

Sang ayah diam. Gadis kecil pun terdiam pula. Matanya mulai memberat. Bukan karena ia terlena dengan kisah sang ayah, tapi karena terlalu sulit baginya mereka-reka seperti apa rasanya terperangkap dalam waktu. Hingga kemudian ia mengatupkan kelopak matanya, lalu lelap.


Tahukah kau? Manusia terkadang merasa dirinya sungguh sangat bijak. Dan kenangan yang kuciptakan ini, tak berarti apa-apa. Sungguh. Hanya saja aku berharap ia - si kenangan ini - benar2 pernah terjadi di suatu bagian hidupku dahulu. Aku berharap pria paruh baya itu ayahku, dan aku si gadis kecil pintar itu. Hanya agar aku tahu tentang kisah rahasia waktu itu, dan tidak terperangkap olehnya. Secara harfiah. Seperti sekarang. Dan jawab aku, akankah penyesalan mampu membuat waktu menoleh? Rasanya tidak..



-grace

Gue, Aku dan Saya versus Elo, Kamu, dan Anda, sebuah refleksi... dan tentu saja, sarkasme!

Gue...
Gue nggak butuh siapa-siapa.
Mana? Mana yang katanya peduli????
Gue nggak pernah dipeduliin!
Mana yang katanya sahabat?
Waktu gue seneng, gue ajak lo seneng-seneng.
Tapi giliran gue susah, lo nggak pernah ada buat gue.
Lo bahkan nggak peduli ketika gue berlarian kesini dan kesana
Ketika gue blingsatan berjuang demi kebangkitan gue dari keterpurukan.
Lo dan lo dan lo dimana?!?!
Jadi jangan salahkan gue ketika gue kemudian menjadi sinis dan dingin.
Jangan salahkan gue ketika gue berubah menjadi independent.
Jangan salahkan gue ketika gue memutuskan untuk pergi.
Karena semua ini salah elo dan elo dan elo dan elo.
Lo semua yang salah!!!
Gue ini, korban keegoisan lo semua, tau gakk? untung gue kuat!


Aku?
Sesak sekali dadaku..
Kemana orang-orang?
Ah... sungguh, di tengah-tengah malam di masa-masa kronis hatiku,
aku sering mengingat-ingat satu persatu wajah kamu dan kamu dan kamu..
kemanakah kamu, kamu, lalu kamu, dan kamuu..
Aku membutuhkanmu, mu, mu, dan mu...
Tapi untuk mengatakan itu tentu saja pahit, apa kamu tahu?
Sakit hatiku harus berkata aku butuh kamu.. padahal kamu seharusnya tahu. Kamu-kamu kan dewa-dewa aku... seharusnya kamu tahu..apa yang aku rasa, apa yang terjadi pada aku.. tapi kamu kok tidak tahu? Jadi kamu dewa palsu, begitu??
Jadi, lebih mudah bagiku memalingkan wajah dan menutup mata, nah, kamu pun hilang..
Tapi aku lupa aku kelihatan. Karena yang tutup mata aku...
Ooooohhh, tentu matamu terbuka, tapi aku tidak tahu kamu melihat apa. Kan mataku kututup.
Tapi kok tidak ada yang sapa aku?
Heeeyy... kamuuu.. nih, aku sedang tutup mata. Aku tidak mau buka sebelum kamu sapa aku.
Apa kamu tidak kasihan pada aku?
Apa kamu mau aku tutup mata terus dan jadi buta betulan?
Nanti kalau aku jadi buta, kamu tidak mau menerima aku, lalu kamu meringis jijik padaku..
Jadi ayo, sapa aku biar aku buka mata.. aku belum buta kok. Hanya tutup mata...
Sedikit saja... apa kamu sudah tidak punya kasih? apa kamu akan biarkan aku jadi buta betulaan?
Kamu jahaaat! iya. kamu dan kamu dan kamu.


Oh.. Saya.
Saya tidak terlalu mengenal anda-anda. Mungkin kita bersama-sama, tapi, saya toh tidak membuka diri. Dan saya pun tidak mengharapkan anda membuka diri.
Saya punya hidup dan anda punya hidup.
Jadi jangan usik hidup saya dan saya pun tidak akan mengusik anda.
Sepertinya selama ini anda terlalu sok penting ya, mengorek-ngorek ingin tahu hidup saya.
Apa untungnya buat anda? toh anda tidak bisa bantu saya.
Atau anda-anda ini ingin menghakimi saya?
Anda kan tahu, saya tidak lebih benar dari anda, dan anda-anda pun tidak lebih benar dari saya.
Jadi berhentilah mengusik hidup saya seolah-olah anda sahabat saya.
Saya tidak nyaman, apa anda tidak tahu?Saya tidak menyalahkan anda, karena kita kan punya kehidupan masing-masing.
Jadi, jangan merasa terintimidasi kalau saya akhirnya memutuskan tidak akan berrelasi dengan anda-anda.
Itu bukan karena saya tidak betah anda usik-usik. Tenang saja, itu bukan salah anda kok.



-grace

The #1

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan Tuntunannyalah blog ini dapat tercipta. kwkwkwkwkw.....

Selalu ada yang pertama..
Jadi inilah yang pertama. Bingung juga mo dibikin casual ato bener2 pure karya tulis.. Tapi seenggaknya ada tempat buat menyalurkan minat gue. Rasanya menyenangkan menuangkan sesuatu lewat tulisan, apapun bentuknya.

So, welcome to my world, guys!

pic by mr. google



 -grace-