Grace Oey

Aku adalah Penyuka Fenomena Senja... Hangatnya, Biasnya, Cahayanya, dan tentu saja Cintanya... Aku Sendiri adalah Semburat Fajar..

Wednesday, February 27, 2013

Grace's missing you, Papa... How's Heaven?

Kematian!

Kata yang tidak pernah sekalipun terasa eksis dalam kamus saya, kata yang hanya ada dalam tulisan-tulisan yang saya buat, atau cerita mereka yang malangnya mengalami itu. Namun kini, kata itu setiap hari menggema di dinding otak saya, menakuti saya, menyadarkan saya apa itu sepi.

Saya tak pernah merasa serindu ini padanya seumur hidup saya. Seringnya ia meninggalkan saya tak membuat saya serta-merta bersedih, karena saya tahu pertemuan kembali akan selalu tiba. Saya bahkan heran pada orang lain yang selalu rindu bahkan menangis jika berjauhan dengan orang yang dicintai. Tidak, saya bukan tipe orang seperti itu. Saya santai saja, tidak merasa demikian beratnya tinggal jauh dan jarang bertemu dengannya. Bahkan 12 tahun terakhir, saya membaginya dengan banyak orang, dan saya tidak keberatan.

Selama ini selalu tersirat dalam benak saya, kami, akan selalu bersama. Kami tidak mengenal perpisahan, ataupun kematian. Itu hanya milik orang lain. Saya, dengan bodohnya terus berpikir bahwa siklus hidup kami tidak sama dengan manusia lainnya. Kami akan terus hidup, mungkin selamanya tinggal berjauhan karena panggilan hidup dan visi kami masing-masing, tapi, kami akan tetap hidup bersama. Hanya terpisah jarak. Mungkin itu sebabnya seringkali saya tak terlalu peduli jika ia rindu, bahkan merajuk karena saya - menurutnya - tak ingat padanya, dan telah menggantikannya dengan orang lain, yang muda, ganteng, menarik hati hingga saya lupa untuk hanya mengabarinya. Saya menanggapi ocehannya hanya dengan tawa. Bagaimana mungkin dia cemburu? Konyol sekali, pikir saya geli. Masih ada banyak waktu untuk kami bercengkerama. Tenang saja. Tidak usah berlebihan begitu.

Banyak hal yang ia inginkan dari saya, saya tahu. Tapi ia selalu memaklumi kondisi saya. Tidak memaksa saya melakukan ini dan itu. Dulu, mungkin memang. Tapi sejak lama sudah tak seperti itu lagi. Ia tak pernah mengatakannya pada saya, tetapi ia menghormati setiap pilihan, keputusan yang saya ambil. Ia hanya pernah marah sekali, saat saya, sebulan yang lalu, membeli tiket perjalanan untuk liburan tanpa bertanya pendapatnya. Ia merajuk dan tidak mau bicara pada saya. Lagi-lagi saya hanya tertawa.

Saat kami bertemu terakhir beberapa minggu yang lalu, ia mengatai saya 'buntalan kentut' lalu tertawa. Karena berat badan saya dua tahun terakhir melonjak seperti lonjakan karier PSY dengan 'Gangnam Style'-nya, ia meledek saya habis-habisan. Ia biasanya bawel dan selalu mengomentari saya dengan ini dan itu, tapi waktu itu malah berbeda. Ia hanya menasihati saya terus-menerus dan tidak ada habis-habisnya. Asal ada kesempatan berdua, ia nyerocos tanpa henti seolah-olah tidak akan pernah bertemu saya lagi. Saya lagi-lagi dengan cueknya bilang, masih ada banyak waktu.

Ternyata, waktu tidak bekerjasama. Waktu tidak berkompromi dan mengagetkan saya dengan memutuskan untuk mengakhiri periode kerjanya atas hidupnya. Atas hidup Papa saya. Tanpa memberi saya kesempatan untuk protes, kenapa ia begitu cepat memutuskan hal itu. Sang Pemilik Waktu, telah mengambil keputusan yang tak bisa saya ganggu gugat. Yang membuat saya menyesali setiap 'masih banyak waktu' yang keluar dari mulut saya.

Pukul satu pagi waktu Jakarta, sehari setelah Valentine, saya mendengar kabar itu. Berbagai rasa berkecamuk dalam hati saya. Berbagai penyesalan, intimidasi, duka, silih berganti memukul saya dari segala arah. Saya tidak berdaya. Hanya bisa menangis dan menyalahkan diri sendiri. Tapi, bukankah kelakuan itu sangat tidak mencerminkan pengharapan akan Sang Anugerah? Saya bodoh sekali. Ini awal baru untuknya. Ini garis finishnya. Dan ia sudah menang. Kenapa saya harus menangisi hari bahagianya? Hari di mana ia pertama kali bertemu Sang Anugerah secara langsung. Saya sungguh bodoh.

Jadi malam itu saya melakukan pemberesan dengan Sang Anugerah. Saya akan meratap, tapi hanya untuk malam itu saja. Meratapi ketidakacuhan saya selama ini. Meratapi kenyataan tidak akan ada lagi telepon darinya, ocehan cemburunya terhadap pacar saya, tidak ada lagi dia yang bisa saya temui, meratapi eksistensi kami yang terbatas, seperti manusia lain, ternyata. Kesedihan saya, hanya untuk malam itu saja. Saat matahari muncul di pagi tanggal 15 Februari 2013, saya tahu, ia bahagia di sana dan saya patutnya bahagia juga. Dan itulah kesepakatan saya denganNya. Tidak ada yang menemani saya malam itu. Hanya saya, dan Sang Anugerah.

 Dan itu benar. Matahari muncul, kekuatan baru pun muncul. Sampai hari ini, saya bertahan. Tidak semua orang memahami saya, tapi saya tahu ia paham. Saya tahu Sang Anugerah juga paham. Karena saya mempercayainya.

Dua hari lagi saya ulang tahun. Tidak akan ada lagi telepon pagi-pagi yang berisi doa darinya yang biasa dia lakukan setiap tahun jika saya ulang tahun. Tapi saya senang, ia akan bisa langsung bicara dengan Sang Anugerah tentang doa-doanya untuk saya. Saya juga tahu dengan pasti, ia bahagia di sana.

Grace's missing you, Papa... How's Heaven?