Grace Oey

Aku adalah Penyuka Fenomena Senja... Hangatnya, Biasnya, Cahayanya, dan tentu saja Cintanya... Aku Sendiri adalah Semburat Fajar..

Tuesday, October 30, 2012

Konsekuensi apabila Tuhan Berkata YA (karena kita maksa) ....

Kata orang, kalau kita mengucapkan permohonan saat bintang jatuh, maka permohonan kita akan terkabul. Wooow, mudah banget ya! Jadi mari kita berbondong-bondong bikin rumah yang ada balkonnya, trus tidur di atap tiap malem, menunggu bintang jatuh untuk membuat permohonan. Yang ada bukannya semua permohonan terkabul, kita malah masuk angin trus pilek. Hahahaha.

Tak terkecuali anak-anak Tuhan, seringkali manusia memohon ini dan itu pada Tuhan. Kebanyakan permohonannya sih bukan seperti:
a. Tuhan, tolonglah agar jiwa2 warga Korea Utara diselamatkan dan berdamai dengan Korea Selatan; atau
b. Tuhan, sadarkanlah para pejabat-pejabat agar Indonesia Tercinta ini bebas dari korupsi;

tapi kebanyakan:

a. Tuhan, jika dia jodohku, dekatkanlahhh, jika bukan, plissssssss, dekatkanlah ya Tuhan;
b. Tuhan, kebutuhanku makin hari makin banyak, tempat kerjaku makin hari makin ga kondusif, aku mau resign Tuhan, tapi sebelumnya, tolong aku untuk dpt tempat kerja yang lebih baik yaaaa;
c. Tuhan, aku kena penyakit ganas nih Tuhan, toloooong, aku masih muda, blum kepingin mati duluuu, sembuhiiiiiiiiiin ya Tuhan...

Dan masih banyak lagi permohonan kita yang segambreng yang kita dengung-dengungkan di tiap doa kita. Bahkan kita yang orang percaya pun kelakuannya kayak gini (iya gak sih temans. hehehe).

Well, semalem eike saat teduh nih sambil baca buku Menikmati Kemustahilannya Dr. Maq, dan belajar tentang yang namanya Permohonan dan Konsekuensi dari Terkabulnya Permohonan Kita Tersebut.

Kita udah lumrah banget dengan bahasa yang seperti ini : cari tahu apa kehendak Tuhan dalam hidup kita, serta kapan waktu yang tepat dimana kita melangkah menjalankan kehendak Tuhan itu di waktunya Tuhan, maka hidup kita akan terarah dan menjadi maksimal. Itu benar dan sangat penting untuk kita perhatiin. Karena seringan kita cuek dan memaksakan kehendak kita sendiri.

Nggak ada salahnya memohon sama Tuhan, karena Tuhan sendiri bilang dalam FirmanNya kalau kita minta pasti akan diberi, kalau kita ketok pintu dibuka, kalau kita cari pasti kita dapat. Dia juga pernah kasih perumpamaan, hakim yang lalim aja kalo tiap mlm pintu rumahnya diketok2 sama janda miskin yang minta dibela, pasti lama-lama luluh juga kok, apalagi Bapa di Surga. Tapi, yang harus kita tandain merah adalah, kita tahu persis nggak sih permohonan kita itu sesuai sama kehendak Tuhan atau nggak? karena guys, Bapa kita adalah Bapa yang lembut, yang nggak mungkin tega membiarkan kita terus-menerus memohon. Dia pasti akan jawab dan kabulin semua yang kita pinta, bahkan jika itu diluar dari rencanaNya. Mungkin yang memohon ga denger kali waktu Bapa bilang "Nggak Nak, jangan memohon itu. Bapa nggak bisa mengabulkannya." Tapi teruuuussssssssssss aja dipinta. Terusssssssss aja memohon, sampe akhirnya Bapa oke-in. Kebayang ngga sih betapa sedihnya Bapa saat melihat kita ketawa seneeeengggg banget keinginan kita terkabul, padahal rencana Bapa bukan itu? Makanya, akan jadi BERBAHAYA kalo kita asal minta sama Tuhan demi kepentingan kita, tanpa menyadari apa kepentingan Sorga atas hidup kita, yang ternyata bertentangan dengan permintaan kita itu.

Ada ayatnya lohh.... cek yuk, Yesaya 38. Pasal itu berkisah tentang Raja Hizkia. Dalam plannya Allah, Raja Hizkia sudah dijadwalkan untuk meninggal. Allah pun mengutus Nabi Yesaya untuk memberitahukan hal ini ke Raja Hizkia. Yaah, mungkin supaya dia siap-siap kali ya serah terima kerjaan ke calon Raja berikutnya sebelum dipensiunkan sama Bos Besar. Tapiiiiii, reaksinya Raja Hizkia sungguh-sungguh suatu kewajaran. Mungkin desse masih merasa dirinya muda dan energik dan produktif, sehingga dia menangis dengan pedih sekali memohon agar waktu kematiannya ditunda dulu.

As i said before, Bapa kita itu lembuuuuuuut banget. Luluh Bapa dengan permohonan Raja Hizkia, sehingga Bapa mengutus lagi Nabi Yesaya untuk ngasih tau ke Raja Hizkia kalau hidupnya di-extend 15 tahun lamanya. Woooow! Senangnyaaa Raja Hizkia.

Eh tetapiiii, pasal berikutnya malah menceritakan tentang 'kesalahan bodoh' yang dibuat oleh Sang Raja yang saking senengnya nggak jadi Mangkat, memamerkan harta Bait Allah kepada utusan Babel, yang melahirkan nubuatan tentang pembuangan ke Babel. Di sabda.org dijelasin bahwa pembuangan ke Babel itu bukanlah pure karena kebodohan Hizkia, tp karena kejahatan Bangsa Israel di bawah pemerintahan Raja Manasye.

Nah. Siapakah Raja Manasye? Dialah hasil dari permohonan perpanjangan usia dari si Raja Hizkia ini. Manasye adalah anak dari Raja Hizkia yang naik tahta di usia belia, yaitu 12 tahun. Berarti hitungan kasarnya, Manasye ini dilahirkan di masa perpanjangan usia Raja Hizkia. Kemungkinan 2-3 tahun setelah Hizkia divonis meninggal. Manasye adalah Raja yang jahat yang sangat menyakiti hati Tuhan, bahkan membawa bangsa Israel menjauh dari Tuhan dengann menyembah berhala, dia bahkan membangun pusat-pusat penyembahan berhala setelah kematian Hizkia.

Nah, temans, see? betapa berbahayanya konsekuensi dari terkabulnya permohonan Hizkia yang nggak manut sama rencana Allah. Kita lihat perbandingannya deh. Musa. Kita tahu Musa amat sangat berkenan di hadapan Allah. Walaupun dia juga berbuat kesalahan (wajar, manusia.), tapi Allah menyertai Dia sampai akhir hayatnya. Hanya ada satu permintaan Musa yang tidak dikabulkan Allah. Yaitu menyebrang ke Tanah Perjanjian. Kita bisa lihat betapa seringnya Musa memohon tentang hal ini, karena Allah berkata di Ul.3:26 "Cukup. Jangan lagi bicarakan perkara itu dengan Aku." dan Musa pada akhirnya taat. Dengan lapang hati menerima keputusan Tuhan hanya cukup memandang tanah perjanjian dari jauh saja dan mempersiapkan Yosua untuk memimpin umat Israel memasuki tanah perjanjian.

Itulah. Mari kita peka dan taat. Jangan bangga kalau kita bisa meluluhkan hati Tuhan dengan airmata kita. Karena Dia lebih tahu yang terbaik untuk kita. Lebih baik taat sajalah.

Saturday, October 20, 2012

Salah Siapakahhh???

Baca Postingan blog Ci Shinta yang paling greget soal diskriminasi (entah kata ini kata yang tepat atau bukan) pendidikan di daerah-daerah yang standarnya jauh dibawah Ibukota, gue jadi pen curhat juga. Gue soalnya termasuk salah satu "korban" dari kepincangan tersebut. Tapi justru disini yang mau gue soroti adalah bukan pada Sistem Pendidikan Pusat yang ga merata ke daerah-daerah, tapi sistem di daerahnya sendiri.

Well, selama melanglangbuana di dunia 'persekolahan' (hahaha...), gue sempet beberapa kali pindah sekolah. Jakarta (pinggiran), Kecamatan M (Daerah Selatan Kabupaten Minahasa, di Sulawesi Utara sana), terakhir di kota T (Daerah bagian Utara Kalimantan Timur). Dan terdapatlah tiga perbedaan yang sangat mencolok dari tiga sekolah gue tersebut.

Gue masuk sekolah di usia 5 tahun. Waktu pertama kali mau masuk sekolah, nggak ada sekolah yang mau nerima gue, karena gue nggak TK dulu, dan umur gue masih terlalu kecil. Dari yang negeri sampe yang swasta, jawabannya sama. Gue inget banget dulu berdua Bokap, gue jalan dari Sekolah satu ke Sekolah yang lain, daftar dan ditolak. Sampe akhirnya gue diterima di sebuah SD Negeri yang ampun2an bangunannya bobrok banget udah mau rubuh. Namanya SDN Jatimurni II. Itupun bergabung sama dua SD yang lain. Kalo gak salah SDN Jatimurni I sama SDN Pondok Ranggon. Udah rada lupa juga sih. Letaknya di pinggiran Jakarta. Udah masuk ke Bekasi sebenernya. Nah, gue diterima disitu dengan catatan, dititipin. Kalo gue bisa ngikutin pelajaran, gue boleh naik kelas. Tapi kalo nggak bisa, Bokap gue bilang gapapa gue tinggal kelas, karena pada saat itu gue emang masih belom cukup umur buat masuk SD.

Jadilah gue masuk SD. Itu sekolah adanya di pinggir sawah. Gue sampe dibeliin sepatu bot supaya kalo pas hari ujan gue tetep bisa masuk sekolah tanpa takut mesti kepeleset di pematang sawah (pernah kejadian bowww. gue nyemplung sawah gara2 sepatu gue licin dan bambu yang gue pijak juga licin. Karena biasanya kalo ujan itu anak-anak melapisi sepatu mereka dengan plastik biar ga kotor. hahaha. termasuk gue). Tapiiiiiii, walaupun kondisinya kayak gitu, Sekolah gue itu punya sistem pendidikan yang cukup bagus (gue menelaah kembali setelah dewasa. whwhwhwhw). Buktinya, gue sekolah disitu cuma satu tahun, karena kelas dua SD gue pindah ke M, tapi segala pengetahuan dasar gue mantabbbbb banget. Naik kelas dua gue udah lancar banget baca, bisa nulis huruf sambung, tulisan balok gue pun rapih dan kemampuan matematik gue bagus banget untuk dasar penambahan dan pengurangan (secara ga TK gue). Itu sekolah pinggiran loh. Tapi guru-guru di sekolah kecil yang bangunannya bobrok banget itu sangat-sangat kompeten. Gue masih inget banget nama-nama Guru gue disana. Bahkan Kepala Sekolahnya juga. Mereka semua keren.

Dan, hijrahlah gue ke kecamatan M, sebuah kecamatan di Selatan Minahasa, di kampung kecil dan dingiiiin yang namanya K. Gue masuk ke salah satu SD Negeri di sana. Daaaan, mulailah terasa kepincangan-kepincangan yang nggak masuk akal. Di sekolah itu awalnya sama sekali tidak ada pelajaran Bahasa Inggris Dasar (baru ada pas gue kelas lima atau enam SD). Guru-gurunya.... speechless deh. hahaha. gue sampe kehabisan kata-kata. Entah karena rumah mereka yang berdekatan sama sekolah, atau memang budaya ya, ga tau juga. Murid-murid dimanfaatkan buat melakukan pekerjaan rumah mereka. Tau gaaa??? Gue belajar bersihin sisik ikan gara-gara guru kelas gue nyuruh gue dan teman-teman bersihin ikan yang mo dese masak. Gue belajar masak nasi karena nanak nasi di dapurnyahhhh, dan yang paling parah, gue pun disuruh nganter ransum buat pekerja-pekerja di ladangnya (ahieek....). Dan di sekolah itu kadang-kadang yang rangking 1 bisa ada dua orang (entah karena ngga tega atau kurang objektif atau apa). Daaannn saudara-saudara, u know what?? kadang kalo ujian kan pertukaran pengawas sama sekolah tetangga. Well, boleh loh nyontek. Bahkan ibu guru pengawas membacakan jawaban ujian dari salah satu buku yang kami bawa. Katanya biar semua naik kelas... What theeeeeeeee .... ???????? Gue heran seheran-herannya. Entah siapa yang salah dalam hal ini. Kenapa guru-guru teladan ini bisa seenaknya sendiri begini. Apa salah sistem? Atau karena Dinas Pendidikan ga memperhatikan, atau memang seharusnya oknum2 Guru itu nggak usah jadi guru ajah? Entahlah. Pada intinya, di daerah itu sangat jarang ada anak yang berhasil mencapai cita-cita. Mending punya cita-cita. Rata-rata putus sekolah dan menikah muda. Kalauuu ada satuuu aja yang sukses, itu karena anak tersebut yang kemauan belajarnya tinggi, tapi perbandingannya 1 banding seratus. Di sekolah itu, cuma ada satu guru yang gue kenang sampe sekarang. Beliau seorang yang bener2 bener diantara guru-guru yang lain. Tapi, beliau disebelin sama semua guru yang lain. hahaha. klise dan sering terjadi bukan.

Sungguh deh malang banget anak-anak daerah itu. Pertama, pihak pengawas dari dinas pendidikan supervisi sekolah palingan setahun dua kali (waktu gue kelas dua, guru gue sampe bela-belain suruh orang jemput gue di rumah karena ada supervisi dari pengawas daerah, tau kenapa? di kelas dua baru gue yang bisa baca dan nulis lancar. sisanya belom. padahalll, gue lagi ga masuk karena sakit. cpd.....). Pas supervisi itu pun entah apa yang di nilai, setelahnya ga ada yang berubah soalnya. Yang kedua, ngga ada kesadaran penuh dari para guru, bahwa mereka itu pahlawan tanpa tanda jasa yang punya tugas penting dan mulia untuk mengarahkan para muridnya biar jadi 'orang'. Yang ketiga, sistem pendidikan nya sama sekali ngga bersistem. Ngga ada jadwal pelajaran, jadi tiap hari gue bawa semua buku. Terserah gurunya mau belajar apa hari itu tergantung moodnya. kalo nggak salah baru pas kelas enam gue punya jadwal pelajaran. Itulah kehidupan SD gue. Yang bikin gue degradasi karena ga ada penunjang untuk gue mengembangkan diri. Menurut kesaksian Bokap gue, waktu gue kelas satu SD gue pinter, berani dan kreatif. Tapi setelah pindah ke daerah, gue jadi anak kampungan. Ga berani ketemu orang, dan sama skali ngga kreatif. sigh. malangnya.. hahaha.

SMP pun nggak jauh berbeda keadaaannya sama SD. Ngga usah diceritainlah. Dengan minimnya kit penunjang, gue ngga pernah praktikum. Sekali-sekali doang hanya untuk pelajaran fisika. Nggak punya lab bahasa, even seragam olahraga aja gue nggak punya. Padahal sekolahnya cukup bagus dan besar, dan sebenarnya memungkinkan sekali untuk ditambahi berbagai fasilitas. Bukan di pedalaman banget kok. Trus guru olahraga gue, akan memukul bokong anak murid wanitanya yang pake celana olahraga dibawah lutut zzzzzzzz. Mo olahraga atao nonton paha, ngga paham juga. Pelajaran Bahasa Inggris pun juga ngga memadai. Lagi-lagi, entah apa yang salah. Gue pun ga perlu belajar keras untuk bisa dapat nilai 9. Cukup SKS sebelum ujian. Dan kedudukan gue sebagai si rangking satu ga pernah berpindah tangan sejak SD sampe SMP.

Parahnyaaaaaa, Ga ada Toko Buku T.T apalagi Gramedia. Perpustakaan berdebu karena ga ada yang mengunjungi. Cuma gue dan segelintir orang yang masuk ke perpus untuk baca buku.

Kesimpulannya, segala hal disana terasa salah. Baik Dinas Pendidikan Daerahnya yang tidak pedulian untuk membenahi sistem belajar. Guru-gurunya yang tidak punya kesadaran. Dan murid-muridnya yang lebih memilih cari uang lewat bekerja di lahan dan ladang mereka (menghasilkan banget loh. mereka punya uang banyak). Dan gue, lulus SMP hijrah lagi ke kota T. Apa yang terjadi???? Bulan-bulan pertama gue sakit gegara stres ga bisa ngikutin pelajaran. Padahal kota T bukan Jakarta. Masih termasuk Daerah yang jauuuh dari Ibukota. Tapi punya Sistem Pendidikan sangat Bagus.

Kota T. Sebenarnya Pulau. Kecil dan Padat. Dekat Malaysia, sehingga snack2 dan makanan ringan disana semua produksi negara tetangga kita itu. Kota Transit para TKI yang dideportasi dari Malaysia. Pada akhirnya menetap dan kerja di sana. Punya sekolah negeri unggulan, SMA Negeri 1. Gue sekolah disitu.

Semester awal, susah banget buat gue ngikutin pelajaran. Sampe sakit. Asli. Ketakutan Bokap gue terbukti. Sebenarnya gue harusnya pindah kesana kelas tiga SMP. Tapi Bokap gue bilang, jangan. Beliau takut gue ga lulus karena jomplangnya pendidikan di tempat tinggal gue yang lama dan di kota ini. Alhasil, gue ditinggal setahun sampe lulus SMP trus pindah pas SMA. Dannnn apa yang Bokap gue takutin terbukti. Hahaha. Tapi gue bener2 belajar keras pas jaman SMA itu. Sampe akhirnya gue bisa ngejar ketinggalan gue.

Sekolah gue itu menakutkan. Cara Guru Matematika gue ngajar ya pas kelas satu. Beliau bawa empat amplop, kelas dibagi empat kelompok. Amplop2 itu yang ternyata dalamnya isinya soal, adalah bahan diskusi kami secara kelompok. Setelah dikasih waktu untuk diskusi, baru soal-soalnya dibahas. Kalo udah bener semua, Guru gue gak bahas lagi. Tapi kalo ada yang salah, baru guru gue bahas. Gimana gue ga stresss. hahaha. Temen2 gue yang lain dengan mudahnya ngikutin. Gue gak. Nilai post test dan UH gue selalu kursi terbalik. wkwkwkwkw. Tapi semester 2 untungnya gue mulai bisa ngikutin. Tapi ya dengan empot2an.

Pelajaran Komputer. Sungguh gue norak abis. Hahaha. SMP gue ga pernah belajar komputer. Jadi pas SMA gue mulai pake komputer, yah gaptek mode on. Untung temen gue pada bae ngajarin. Sampe akhirnya bisa.

Gue bangga banget jadi alumni sekolah itu. Lulusannya rata-rata berkualitas. Dan gak main-main. Kepseknya aja sekarang tinggal di Belanda, kalo ga salah sekolah lagi. Guru-guru lain pun ga main-main, ada yang beasiswa ke luar negeri segala. Walaupun di daerah, tapi Kepala Sekolah dan guru-gurunya haus ilmu. Mereka cari berbagai macam cara supaya sekolahnya maju dan jadi percontohan. Ilmu mereka dapet, dibagiin deh ke kita-kita anak muridnya, Sungguh Keren dan sangat berbanding terbalik dengan SD dan SMP gue.

Nah, salahnya dimana? Ternyata peran Guru dan Dinas Pendidikan Daerah pun penting. Kalo Pusat ga bertindak, mereka yang kreatif dan ga terima dengan keadaan ya manufer dan bikin program sendiri. Tapi ada juga yang ongkang2 kaki aja yang penting digaji dan sedikit bisa memanfaatkan anak muridnya. Sama-sama di daerah, sama-sama minim fasilitas, tapi yang satu pasif, yang satu aktif. Hasilnya, yang satu lulusannya berkualitas, yang satu lulusannya ya gitu deh.. hehehe.

Intinya, Indonesia ini perlu dibenahi sistem pendidikannya. Terutama Daerah. Yang gak kompeten di cut2 ajah (kejam. hahahaha...). Mereka mungkin ga korupsi uang. Tapi mereka ngga bertanggung jawab atas masa depan anak didiknya. Mungkin gaji mereka kecil, atau knapa. Sampe akhirnya mereka cuma sekedar kerja aja tanpa hati. Gue aja nyesel pindah ke M. Tapi akhirnya nasib pendidikan gue berubah di Kota T.

Demikianlah. Miris ya.