Grace Oey

Aku adalah Penyuka Fenomena Senja... Hangatnya, Biasnya, Cahayanya, dan tentu saja Cintanya... Aku Sendiri adalah Semburat Fajar..

Tuesday, October 29, 2013

Atas Penilaian Siapa??

Haiii….

Kemaren minggu gue sedang dapet pencerahan dan kepengin banget cepet2 nulis. Giliran udah senin, ada waktu buat menulis, eh tetiba segala yang ada di kepala gue kemarennya menguap entah ke mana. #Sigh

Gue sebenernya kepengin share sesuatu, tentang apa yang pernah gue alami di masa-masa transisi idup gue dari remaja ke dewasa (sekitar usia 17 – 20an). Kenapa gue pengen share hal ini, karena mungkin ada juga remaja-remaja lain yang mengalami apa yang gue alami. Dan juga supaya gue lebih bisa cepet-cepet bernafas. Biasanya dengan menulis gue semacam pelepasan gitoooh. Hahahaha.

Okay.

Di umur gue yang ketujuhbelas sampai kurang lebih setahun atau dua tahun lalu, gue mengalami yang namanya krisis identitas (ini gue yang namain sendiri. Hahahah!) Biasalah kan yang namanya remaja itu diidentikan orang dengan kegiatan pencarian jati diri, gue pun ternyata mengalaminya. Padahal selama ini gue berpikir gue nggak.

Jadi, di masa itu gue memiliki satu orang (yang tidak bisa gue sebutkan namanya.. mulai dari sekarang akan gue sebut Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut. Voldemort doong. Wkw) yang menjadi semacam panutan gue. A woman, of course! Gue menjadikan beliau sebagai panutan karena menurut gue dia wanita yang keren, berprinsip, mandiri, tegas, cerdas, bisa segala-galanya dan cekatan. Well, gue mengidolakan Dia yang namanya tak boleh disebut ini. Gue bahkan bertekad ingin menjadi seperti dia. Ada keinginan dalam hati gue untuk diterima oleh Dia yang namanya tak boleh disebut ini. Gue pengin bisa deket, dibapai, dicover dan semacamnya. Gue anak sulung jadi kepengin banget diperlakukan sebagai adik. Itu pemikiran saat gue baru-baru aja mengenal pribadi si Dia yang namanya tak boleh disebut ini.

Lama-kelamaan, gue mulai menelan yang namanya kekecewaan. Ternyata, Dia yang namanya tak boleh disebut ini susah sekali untuk didekati. Sepertinya dia memiliki semacam standar tertentu dalam pergaulan, yang mana yang cuma kenalan, yang mana yang bisa dibilang dekat tp bukan sahabat, yang mana yang sahabat karib, mana saudara jauh, mana saudara dekat, dan sebagainya. Hubungan kami kaku sekali awalnya. Bahkan kadang dia bicara dengan bahasa sangat formal (saya – kamu). Gue nggak terbiasa dengan gaya yang seperti ini, jadi gue agak merasa nggak diterima. Tapi, saat itu gue menganggap ini sesuatu yang keren. Pikir gue, ‘oooh, mungkin ini adalah cara yang bijak untuk menjaga pergaulan. Karena pergaulan yang buruk kan merusak kebiasaan baik, jadi kita memang harus selektif. Dan juga kita harus bisa memilah-milah bagaimana cara bicara ke orang yang lebih tua, ke sesama yang sebaya, dan ke anak kecil. Patut ditiru.’

Itulah yang gue berusaha lakukan dalam tahun-tahun itu. Gue mulai meniru. Gue mulai menyukai apa yang dia sukai, membaca buku yang dia baca, menonton film yang ia tonton, sama-sama mengernyit melihat sesuatu (entah benda, orang, atau apapun) yang membuatnya jijik, membenci orang yang dia benci, berusaha menampakkan reaksi yang sama pada kejadian-kejadian tertentu yang gue alami dimana sebelumnya dialami juga oleh Dia yang namanya tak boleh disebut, mengadaptasi beberapa prinsipnya yang menurut gue masuk akal dan cool, mengikuti caranya mengambil keputusan, harus bisa melakukan apa yang dia bisa, bahkan MEMESAN apa yang dia pesan saat makan bersama, dan hal-hal lain. Memang gue gak menjadi semacam kloningan dia pada akhirnya, bahkan jauh dari itu, tapi itulah yang berusaha gue lakukan. She is such an inspirational figure and I want to be like HER!

And you know what??? Menyiksa dan menyesakkan sekali lho melakukan hal itu. Dan gue terus ada dalam lingkaran itu bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Dan itu semua berbuah segala jenis kenegatifan buat gue.

Pertama, gue sesak nafas dan selalu takut mengambil keputusan atau bersikap. Takut menerima tatapan mata yang sinis, takut menerima celetukan yang rasanya celekit!, takut dikritik, takut dibilang bodoh. Gue berusaha melakukan segala sesuatu dengan cara dia. Agar gue diberi anggukan setuju, disenyumi, diacungi jempol, dan dipuji. Melakukan segala hal yang diorder dengan sungguh-sungguh dan segenap hati, lalu bersembunyi di belakangnya. Meskipun sering juga tidak sesuai dengan apa yang gue inginkan karena entah bagaimana gue missed di sana-sini. Gue pengin semua perfect, seperti dia, padahal gue bukan tipe orang yang perfeksionis.

Kedua, dalam rentang waktu itu gue gak pernah berani mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan Dia yang namanya tak boleh disebut. Padahal, Hello Grace, semua orang bebas berpendapat. Gue adalah pendukung setianya. Terkadang ingin protes jika ada hal yang gue gak suka dan gue sebelin, yang menurut gue unfair, sampe bisa aja udah di ubun-ubun keselnya, tapi gue telan. Gue gak pernah bermimpi konflik sama Dia yang namanya tak boleh disebut. Jangan sampai, jangan pernah, jangan dipikirkan. Dan kepahitan pun bersarang. Pahit sepahit-pahitnya. Padahal belum tentu juga kan kalo gue ngomong dia akan bereaksi negatif, tapi gue menghakimi dia lebih dulu dengan menganggap dia pasti akan begitu.

Ketiga, gue mulai mencari-cari kesalahannya. Berpikir, dia kan bukan dewa. Suatu saat mesti dia melakukan kesalahan. Dan kalau itu terjadi, maka gue sedikit merasa ‘dibenarkan’ dan senang. Iya, gue senang! Gue akan merasa sedikit lega, karena dia ternyata bisa salah juga. Lihat? Gue jadi sosok yang jahat dan hypocrite kan? Munafik bangetlah gue selama tahun-tahun itu. Dan parahnya lagi, selalu self pity gue melonjak ke level paling tinggi setiap kali gue merasa gue telah melakukan kesalahan. Karena kiblat gue adalah dia benar, dan kalau ‘benar’nya gue tidak sesuai dengan ‘benar’nya dia, maka gue salah. Self pity nya gue seperti apa? Gue akan menyalah-nyalahkan dia seganas-ganasnya (dalam hati, tentunya), dan memaki-maki diri gue sendiri (juga dalam hati), kenapa sih sampai salah! Lalu mulai membela diri, lagipula toh gak salah-salah amat. Kenapa sih harus begitu amat, kenapa, kenapa. Sampai gue puas. Lalu update status ini dan itu.

Tahun-tahun yang penuh dengan kesia-siaan, karena gue bukannya mengembangkan kapasitas gue dan belajar untuk berubah dari karakter-karakter gue yang jelek menjadi baik, melainkan gue berusaha menjadi orang lain. Semuanya cuma satu penyebabnya, Gue IRI. Gue kepengin banget bisa kayak Dia. Dia begitu hebat dan bersinar, sedangkan gue cuma gue, dengan segala macam yang gue bisa, dimana kebisaan gue akan sia-sia aja kalau disandingkan dengan dia, dan pada akhirnya gue hanya akan ada di bagian paling belakang, mojok dan mengasihani diri sendiri.

Ada yang pernah mengalami hal seperti ini? Gue akhirnya belajar banyak hal dari ini.

Menerima diri sendiri apa adanya itu termasuk menerima kelebihan dan kekurangan kita. Kalau bicara menerima kelebihan, tentu jauh lebih mudah daripada menerima kekurangan, semua orang akan dengan senang hati menerima bahkan mengakui kelebihannya. Gue belajar bahwa, adalah sesuatu yang sangat sangat wajar jika gue melakukan kesalahan. Wajar jika sekali-sekali mengalami kegagalan, tidak excellent, jatuh dosa, bahkan melakukan hal sangat buruk. Gue manusia kan bukan malaikat, TAPI, bagaimana sikap hati dan tindakan gue saat semua keburukan itu terjadi, itulah yang menentukan siapa gue sebenarnya. The Loser, atau The Champion! Kalau gue ‘mewajibkan’ orang lain menerima kekurangan gue, membuat diri gue terlihat benar dengan cara apapun, lalu mengasihani diri sendiri saat ternyata orang lain tidak bekerjasama, cuek aja tanpa berusaha mengubah apapun karena penerimaan yang terlalu lebay akan diri sendiri, maka gue golongan pecundang. Tapi, gue telah bertekad untuk melakukan ini saat gue mengalami deretan kegagalan di atas : Menerima bahwa saat itu memang gue gagal, memaafkan diri gue sendiri dan berbesar hati meminta maaf jika itu melibatkan orang lain, bertanggungjawab akan kerugian yang gue timbulkan saat itu, tidak terpuruk dan berbesar hati mau diubahkan. Well, easy to say yahh.. kita lihat apa gue cukup berani menantang diri gue melakukannya saat ada dalam posisi itu di dunia nyata.

Pada dasarnya gue orang yang tidak terlalu terpengaruh dengan stigma. Gue kurang begitu peduli akan kesalahan orang lain, selama tidak bersinggungan sama gue. Contohnya gini, ada orang yang berstigma pervert karena kisah masa lalunya. Well, gue gak terlalu peduli akan hal itu. Kecuali, stigma itu benar-benar nyata dilakukannya pada masa kini dan terhadap gue, maka itu masalah buat gue. Kesalahan orang lain bukan menjadi acuan buat gue untuk melabeli orang itu. Nah, setelah gue bertemu dia yang namanya tak boleh disebut dan mulai menjadikannya ‘idol’, kan gue mengacu pada apa yang dia yang benci, maka gue ikut benci juga. Akhir-akhir ini, gue belajar untuk lebih jujur pada diri gue sendiri. Kalau memang gue ga masalah, ya gue ga akan terpengaruh dengan stigma yang ditempel lingkungan terhadap orang-orang tertentu. Kalau dulu gue selalu membeo, maka gue gak akan ikut-ikutan lagi sekarang. Pernah sekali waktu kejadian begini, ada salah seorang rekan pembina anak gue mengucapkan kalimat gini (ga persis sih, gue uda agak lupa kejadiannya) ke seorang anak yang memang terkenal sulit, masih dalam jarak dengar anak tersebut : ‘jangan ajak becanda anak ini, dia songong soalnya kalau dibecanda-becandain gitu.’ Well, songong adalah stigma yang ditempel lingkungan pada anak ini, baik dia memang begitu, maupun nantinya akan jadi seperti itu. Dalam kasus ini, karena anak ini memang seperti itu adanya. Kalau dulu, gue akan langsung nyamber membenarkan apa yang dikatakan rekan gue tersebut, tapi malam itu gue menahan lidah gue, dan mengatakan apa yang hati nurani gue sendiri rasain. Kesannya lebay ya? Tapi malam itu I felt free. Pertama kali dalam hidup gue, gue gak membeo perkataan orang lain. Yeiy!

Nah, kabar buruknya (atau mungkin malah kabar baik, tergantung respon), ternyata apa yang gue lakukan bertahun-tahun itu bukan hanya tentang masalah penerimaan akan diri sendiri, tapi sebuah DOSA. Apaa? Dosa? Masa sih? Kayaknya itu masalah psikologis deh, kok bisa jadi dosa?? Nah, let me tell ya :

1. Memandang rendah diri sendiri itu dosa, karena kita diciptakan segambar dan serupa dengan siapa?? ALLAH sendiri. Atas dasar apa sih orang berusaha banget menjadi seperti idolanya? Satu, karena dia tidak menganggap dirinya cukup baik, dan itu sama aja rendah diri.

2. Mengidolakan orang lain selain Tuhan Yesus tentu dosa besar, kan. Gak usah diomongin lagi. Hukum Pertama dan Kedua taurat bunyinya apa? Gue menjadikan Dia yang namanya tak boleh disebut sebagai ‘acuan’ kebenaran, sedangkan kita tahu dengan jelas Kebenaran itu siapa. Yohanes mencatat perkataan Yesus : Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup. Kadang orang menghilangkan kata penghubung dan yang jelas-jelas ada itu sehingga hanya menganggap bahwa Yesus adalah Jalan Kebenaran, dengan kata lain jalan menuju kebenaran. Nope! Dialah Kebenaran itu sendiri. Dan kiblat kita adalah Dia.

3. Menyimpan kepahitan? YA, itu dosa. Dan sangat merugikan.

4. Mengharapkan, menertawakan kejatuhan dan kesalahan orang lain? Dosa.

Dan masih banyak lagi tanpa perlu disebutin komponen-komponennya. Gue menyadari hal ini dan beban mulai terangkat. Lo bayangin aja, gue mikul kuk yang berat banget bertahun-tahun, kuk yang gue bikin sendiri. Sedangkan jelas-jelas Tuhan Yesus bilang, kuk yang punya Dia enak dan ringan. Bebal banget ga sih gue?

Buat gue, ini pelajaran banget ya. Keterlaluan kalo gue ga menganggap ini pelajaran, brarti gue bebal kuadrat. Pelajaran buat gue, untuk menjadi apa adanya. Pelajaran buat gue, untuk hidup bukan karena kata orang, bukan karena berkiblat pada orang lain, tapi karena DIA dan berkiblat padaNya. Penggalan lagu favorit gue tapi yang (dulu) ga gue resapi artinya ini jadi penutup ‘pelepasan’ gue kali ini :D

Kuhidup dengan perkataanMu
Kuhidup dari PenilaianMu
Ketaatanku membuat hidupku menyatu dengan pribadiMu